3.
KEBIJAKAN
FISKAL
Jika
di dalam kebijaksanaan moneter pemerintah menggunakan elemen uang beredar dan
suku bunga untuk mengatr perekonomian, maka kebijaksanaan fiskal adalah suatu
tndakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui anggaran belanja
negara, dan biasanya dikaitkan dengan masalah perpajakan. Meskipun tidak selalu
demikian, namun orang lebih melihat kebijaksanaan fiskal sebagai kebijaksanaan
pemerintah di sektor perpajakan.
Kebijaksanaan
fiskal (dalam hal ini melalui perpajakan) dapat dibedakan dari beberapa segi.
Pertama,
jika dilihat dari segi cara pembayarannya, sistem pembayaran pajak dibagi
menjadi dalam istilah:
Ø Pajak langsung:
pajak
yang pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain.
Sebagai contoh adalah pajak kendaraan
bermotor. Siapapun pemiliknya maka dia sendirilah yang harus membayarnya.
Meskipun secara fisik dapat diwakilkan/ dilakukan oleh orang lain, namun secara
formal harus dilakukan oleh si pemilik (diwakili dengan KTP asli si pemilik).
Ø Pajak tidak langsung:
pajak yang pembayarannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, seperti pajak
pertambahan nilai, cukai rokok, dsb.
Kedua,
jika dilihat dari besar-kecilnya nilai yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak
(WP), pajak dapat dibagi dalam:
Ø Pajak Regresif:
pajak yang besar-kecilnya nilai yang harus dibayarkan, ditetapkan berbanding
terbalik dengan besarnya pendapatan WP. Semakin tinggi pendapatan WP, semakin
kecil pajak yang harus dibayarkan.
Ø Pajak Sebanding:
pajak yang besar-kecilnya sama untuk berbagai tingkat pendapatan, umumnya untuk
tiap jenis komoditi dengan karakteristik yang sama.
Ø Pajak Progresif:
pajak yang besar-kecilnya akan ditetapkan searah dengan besarnya pendapatan WP,
semakin tinggi pendapatan maka akan semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan.
Dan sebaliknya semakin kecil pendapatan, bahkan untuk pendapatan yang ada di
bawah garis standar, si WP akan mulai menerima subsidi dari pemerintah.
Ketiga,
jika dilihat dari sisi tujuan ditetapkannya, maka ada beberapa tujuan dari
adanya kebijaksanaan perpajakan ini, yakni:
Ø Pajak
adalah sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah yang cukup potensial.
Dengan semakin baiknya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka semakin
besar pula nilai pajak yang dapat dihimpun oleh negara. Hal ini didukung pula
dengan semakin banyaknya objek pajak dapat dikenai pajak.
Ø Pajak
adalah sebagai alat pengendali tingkat pengeluaran masyarakat, dengan sistem
perpajakan dapat membantu pemerintah dalam hal menekan pengeluaran, terutama
jika kondisi perekonomian sedemikian cepatnya sehingga dapat memicu inflasi
yang semakin tidak terkendali, sehingga pengeluaran masyarakat dan pemerintah
perlu dikurangi.
Ø Dengan
adanya pajak pendapatan disposible (Yd) yang siap dibelanjakan menjadi
berkurang, sehingga konsumsi akan ikut mengalami pengurangan.
Ø Pajak
adalah salah satu alat yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk lebih
meratakan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat. Dengan pajak yang
progresif dapat dilakukan upaya untuk mempersempit tingkat/ jurang kesenjangan
antara golongan ekonomi kuat dan lemah.
Ø Pajak
yang dihimpun dari para ekonomi kuat dapat disebar kembali ke rakyat banyak
dalam bentuk subsidi, bantuan kemanuasiaan, pembangunan sarana dan prasarana
umum yang banyak dibutuhkan rakyat banyak. Dengan demikian si kaya turut
menyisihkan sebagian kekayaannya/ kelebihan dana untuk kepentingan rakyat
banyak melalui pajak yang ia bayarkan.
Di
pihak lain tentunya pemerintah pun akan memberikan berbagai kemudahan kepada
para ekonomi kuat dalam memperlancar aktivitas usahanya.
4.
KEBIJAKAN
FISKAL DAN MONETER LUAR NEGERI
Di
dalam sektor luar negeri, kedua kebijaksanaaan ini memiliki istilah lain, yang
di dalam istilah tersebut terdapat kombinasi antara keduanya. Istilah yang
dimaksud adalah:
A. Kebijaksanaan
menekan pengeluaran
Kebijaksanaan
ini dilakukan dengan cara mengurangi tingkat konsumsi/ pengeluaran yang
dilakukan oleh para pelaku ekonomi di Indonesia. Cara-cara yang ditempuh
diantaranya:
Menaikkan
pajak pendapatan. Dengan tindakan ini maka pendapatan
yang siap untuk dibelanjakan masyarakat (Y disposible) menjadi berkurang
sehingga diharapkan masyarakat akan mengurangi presentase pengeluarannya.
Menaikkan
tingkat bunga. Dengan kebijaksanaan ini, kegiatan
investasi menjadi tidak menarik lagi. Akibatnya kegiatan investasi akan turun
yang berarti pengeluaran dari sektor ini akan berkurang.
Mengurangi
pengeluaran pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan penjadwalan ulang proyek-proyek dengan lebih mengutamakan prioritas
kebutuhan yang lebih mendesak, dan dengan mengurangi bentuk-bentuk subsidi yang
tidak lagi relefan.
Jika
dilihat dari tindakan-tindakan yang diambil tersebut, bahwa kebijaksanaan ini
tampaknya tidak cocok untuk keadaan perekonomian yang sedang mengalami tingkat
pengangguran yang tinggi. Karena dengan kondisi perekonomian yang seperti itu,
maka justru perekonomian sedang membutuhkan dana yang besar untuk menaikkan
investasi, sehingga dapat tercipta lapangan pekerjaan yang dapat menampung para
penganggur tersebut. Sedangkan jenis kebijaksanaan ini justru mengakibatkan
sebaliknya.
B. Kebijaksanaan
memindah pengeluaran
Jika
dalam kebijaksanaan menekan pengeluaran, para pelaku ekonomi diusahakan
berkurang, maka dalam kebijaksanaan ini pengeluaran mereka tidak berkurang, hanya
dipindah dan digeser pada bidang yang tidak terlalu beresiko memperburuk
perekonomian. Kebijaksanaan ini dapat dilakukan secara paksa dan dapat juga
dipergunakan dengan memakai rangsangan.
Secara
paksa kebijaksanaan ini ditempuh dengan cara:
Ø Mengenakan
tarif dan/ atau quota, dengan tindakan ini diharapkan masyarakat akan memindah
konsumsinya ke komoditi buatan dalam negeri, karena dengan dikenakannya kedua
hambatan perdagangan tersebut, harga komoditi impor menjadi mahal.
Ø Mengawasi
pemakaian valuta asing, hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan maksud dan
tujuan orang membutuhkan dan menggunakan valuta asing. Kemudian akan diberikan
kepada mereka yang akan menggunakan valuta asing tersebut untuk mengekspor
komoditi yang membantu terpenuhinya kebutuhan rakyat banyak dan demi
meningkatnya produktivitas perekonomian.
Sedangkan kebijaksanaan memindah
pengeluaran yang dilakukan dengan rangsangan dapat ditempuh dengan cara:
1) Menciptakan
rangsangan-rangsangan ekspor, misalnya dengan mengurangi pajak komoditi ekspor,
menyederhanakan prosedur ekspor, memberantas pungutan liar (pungli) dan
biaya-biaya siluman yang turut membebani harga komoditi ekspor.
2) Menyetabilkan
uah dan harga di dalam negeri, dengan demikian akan lebih memberi iklim yang
lebih sehat bagi masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi produk dalam negeri.
Dengan upah yang stabil akan ada kepastian pendapatan bagi masyarakat. Dan
dengan kepastian harga, konsumen akan lebih tenang, dan menghindarkan dari
tindakan spekulasi.
3) Melakukan
devaluasi, yaitu suatu tindakan pemerintah dengan menurunan nilai tukar mata
uang Rupiah terhadap Dolar. Dengan kata lain, devaluasi menyebabkan semakin
banyak Rupiah yang harus dikorbankan untuk mendapatkan 1 unit dolar. Namun
akibat positif yang ditimbulkannya adalah semakin murahnya nilai komoditi
ekspor Indonesia di pasar dunia.
4) Dengan
demikian tujuan mendasar di lakukannya devaluasi adalah untuk meningkatkan
volume transaksi komoditi ekspor Indonesia. Harapannya dengan peningkatan
tersebut, penerimaan negara dari sektor perdagangan luar negeri dapat
meningkat, sehingga diperoleh dana pembangunan yang lebih banyak. Namun
demikian, manfaat devaluasi tersebut baru dapat dirasakan jika dipenuhi
beberapa kondisi di bawah ini, yakni:
Pertama,
permintaan
komoditi ekspor Indonesia memiliki sifat yang elastis.
Elastis
artinya bahwa perubahan sedikit saja pada harga akan menyebabkan kenaikan
permintaan terhadap komoditi tersebut dalam volume yang jauh lebih besar. Untuk
lebih melihat prosesnya, dapat dilihat dalam grafik berikut:
Grafik di atas menunjukkan bahwa jika
komoditi ekspor kita memiliki elastisitas permintaan seperti ini, maka
devaluasi akan ada manfaatnya. Adanya penurunan sedikit saja dalam harga (dari
P0 ke P1) akan menyebabkan kenaikan permintaan kooditi tersebut di luar negeri,
dalam volume yang jauh lebih besar (dari Q0 ke Q1).
Namun jika komoditi ekspor Indonesia
memiliki sifat permintaan yang sebaliknya, seperti yang ditunjukkan dalam
grafik berikut:
Maka penurunan harga yang cukup besar
(akibat devaluasi) dari P0 ke P1 ternyata tidak diimbangi dengan kenaikan
volume ekspor (dari Q0 ke Q1) yang hanya naik sedikit saja. Sehingga kenaikan
yang sediki tersebut tidak cukup untuk menutupi ‘kerugian’ yang terjadi karena
adanya tindakan devaluasi tersebut.
Kedua, permintaan
komoditi ekspor juga bersifat elastis, dalam arti hampir sama dengan yang
pertama, maka jka terjadi bahwa harga komoditi impor menjadi mahal sedikit saja
(karena efek devaluasi), maka akan terjadi penurunan permintaan dari masyarakat
Indonesia terhadap komoditi impor dalam jumlah yang sangat besar, dengan
demikian tindakan devaluasi akan membawa hasil. Namun jika yang terjadi adalah
sebaliknya, meskipun harga komoditi impor telah diturunkan, bahkan dengan
presentase yang besar sekalipun, tetapi selera masyarakat Indonesia terhadap
komoditi asing begitu tinggi, maka tindakan devaluasi tersebut tidak akan
membawa dampak yang positif.
Ketiga, kemampuan
industri nasioanal dalam memenuhi adanya peningkatan permintaan ekspor
Indonesia tersebut. Jika di dalam negeri kapasitas produksi belum sepenuhnya
digunakan (under eployment), maka masih ada kemungkinan untuk memanfaatkan
kesempatan dengan memenuhi kenaikan permintaan tersebut. Namun jika kapasitas
produksi sudah penuh dan bahkan telah ‘over employment’, maka adanya kenaikan
permintaan tersebut tidak akan berarti banyak, dengan demikian devaluasi yang
dilakukan tidak akan berakibat banyak pada kondisi perekonomian Indonesia.
Keempat, adanya
kemampuan pemerintah dan masyarakat di dalam mengendalikan inflasi di dalam
negeri. Jika inflasi tetap tinggi, maka harga di dalam negeri cenderung tinggi,
sehingga jika produk/ komoditi tersebut diekspor maka harganya juga akan
tinggi, sedangkan tujuan kebijaksanaan devaluasi itu sendiri bertujuan menurunkan
harga komoditi ekspor.
Kelima, kenyataan
bahwa negara mitra dagang Indonesia tidak melakukan tindakan/ kebijaksanaan
yang sama. Jika ini terjadi dengan nilai devaluasi yang lebih besar, maka
kejadiannya akan menyebabkan harga komoditi ekspor Indonesia (impor bagi negara
mitra) akan menjadi mahal. Dan sebaliknya komoditi impor negara (ekspor dari
negara mitra menjadi lebih murah). Sesuatu hal yang jauh dari harapan
dilaksanakannya kebijaksanaan devaluasi oleh pemerintah.
5.
KEBIJAKAN
SELAMA PERIODE REFORMASI
A.
Pemerintahan Reformasi
Pada
masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun
juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
1) Masa
Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada
awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan
dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional
dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde
baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi
manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam
politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa
pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu,
Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi.
Di
bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih
berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya,
terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket
naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi
di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan
independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk
menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
·
Melakukan restrukturisasi dan
rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan
Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
·
Melikuidasi beberapa bank yang
bermasalah
·
Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap
dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
·
Membentuk lembaga pemantau dan
penyelesaian masalah utang luar negeri
·
Mengimplementasikan reformasi ekonomi
yang disyaratkan IMF
·
Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat
·
Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
Pemerintahan presiden
B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang
cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik.
2) Masa
Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur)
Dalam
hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir
mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI)
juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai
stabil.
Akan
tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat
tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan
ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden
cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif,
bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan
reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi
tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga
menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya
adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan
II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari
jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada
bulan Agustus 2001.
Selama
pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa
disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik
Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh
semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi
perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain
itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut
kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang
terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan
IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda
perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu,
Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara
donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi
perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus
membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar
akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam
akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah
Indonesia macet.
Ketidakstabilan
politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman
Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi
dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini
membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan
kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi
perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk
daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat
internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan
bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa
indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi
politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard
& Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke
negatif.
Kalau
kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi
Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya,
bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang
sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis
ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah
cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap
persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia,
desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank
Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan
inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT
G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar
negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap
kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena
makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8
Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam
perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin
yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan
pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin
tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian
Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator
kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat
terhadap pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS. Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di bawah ini, pada awal
tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret
2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus
level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank
Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas
puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada
tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang
menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada
bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh
Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah
dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif
terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan,
bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi,
sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak
negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian
Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal
dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua,utang
luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta
maupun pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator
lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan
cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar
dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman
keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman
Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
Dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan
PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah,
sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
·
Hubungan pemerintah dibawah pimpinan
Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti
Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah
(kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang
terus tertunda.
·
Politik dan sosial yang tidak stabil
semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal
di Indonesia.
·
Makin rumitnya persoalan ekonomi
ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang
cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya
kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam
negeri.
Pada masa
kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat
skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya,
kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
3)
Masa Kepemimpinan Megawati
Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati
Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk
dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
Ø Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
Ø Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing.
Ø
Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Meski ekonomi
Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang
lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak
menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
4) Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I
(Era SBY- JK) = (2004-2009)
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut
Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain
itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang
dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri
dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang
ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal
ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit
perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan
dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya
investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif.
Namun,
selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa
keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak
tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada
tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi
SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan
dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan
dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya,
hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun
waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang
mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas
dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat
yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang
tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa
jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui
langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia
sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS
14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS
4,0-4,5 triliun.
5)
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II
(Era SBY–BOEDIONO) = (2009-2014)
Pada
periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat
kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
- BI
rate
- Nilai
tukar
- Operasi
moneter
- Kebijakan
makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu
lintas modal.
Dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Hampir
tujuh tahun sudah ekonomi Indonesia di tangan kepemimpinan Presiden SBY dan
selama itu pula perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa
keemasannya. Beberapa pengamat ekonomi bahkan berpendapat kekuatan ekonomi
Indonesia sekarang pantas disejajarkan dengan 4 raksasa kekuatan baru
perekonomian dunia yang terkenal dengan nama BIRC (Brazil, Rusia, India, dan
China).
Krisis
global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan
perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika
Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang
positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Gemilangnya
fondasi perekonomian Indonesia direspon dunia internasional dengan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara pilihan tempat berinvestasi. Dua efeknya
yang sangat terasa adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor
tertingginya sepanjang sejarah dengan berhasil menembus angka 3.800. Bahkan
banyak pengamat yang meramalkan sampai akhir tahun ini IHSG akan mampu menembus
level 4000.
Indonesia
saat ini menjadi ekonomi nomor 17 terbesar di dunia. “Tujuan kami adalah untuk
menduduki 10 besar. Kami sangat optimistis karena IMF pun memprediksi ekonomi
Indonesia akan mengalahkan Australia dalam waktu kurang dari satu dekade ke
depan,” tutur SBY dalam sebuah acara.
Sumber
http://mifta-huljannah.blogspot.com