1.
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH
Di
dalam menjalankan fungsinya sebagai pelaku ekonomi yang memiliki fungsi
prioritas sebagai dinamisator dan stabilisator, maka pemerintah perlu
merencanakan dan melaksanakan tindakan-tindakan yang berkesinambungan guna
menyiapkan, mengarahkan kegiatan ekonomi di Indonesia. Tindakan-tindakan itulah
yang yang kemudian lebih dikenal dengan kebijksanaan pemerintah di bidang
ekonomi. Meskipun demikian kebijaksanaan di bidang lain tidak kalah pentingnya
dalam mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi itu sendiri.
Sebelum
dibahas mengenai kebijaksanaan pemerintah yang saat ini ada, perlu kiranya
dilihat perkembangan dan sejarah kebijaksanaan pemerintah yang pernah
dilaksanakan dalam perekonomian Indonesia, khususnya setelah masa Orde Baru
berjalan. Beberapa kebijaksanaan yang cukup menonjol sejak Orde Baru berjalan
diantaranya adalah:
A.PERIODE
1966-1969
Kebijaksanaan
pemerintah pada masa ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan
pembersihan semua sektor dari unsur-unsur peninggalan pemerintah Orde Lama,
terutama paham komunis. Selain itu masa ini juga diisi dengan kebijaksanaan
pemerntah dalam mengupayakan penurunan tingkat inflasi yang masih tinggi.
Kebijaksanaan ini cukup berhasil menekan inflasi dari ± 650% menjadi ± 10%
saja, suatu prestasi ekonomi yang tidak kecil.
B.PERIODE
PELITA I
Kebijaksanaan
pada periode Pelita Pertama ini dimulai dengan:
·
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1970,
mengenai penyempurnaan tata niaga bidang ekspor dan impor
·
Peraturan Agustus 1971, mengenai devaluasi
mata uang Rupiah terhadap Dollar, dengan sasaran pokoknya adalah:
ü Kestabilan
harga bahan pokok
ü Peningkatan
nilai ekspor
ü Kelancaran
impor
ü Penyebaran
barang di dalam negeri
C.PERIODE
PELITA II
Periode
ini diisi dengan kebijaksanaan mengenai:
Perkreditan
untuk mendorong para eksportir kecil dan menengah, di samping untuk mendorong
kemajuan pengusaha kecil/ ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil
(KIK).
·
Kebijaksanaan Fiskal, dengan cara
penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing komoditi ekspor di
pasar dunia, serta untuk menggalakkan penanaman modal asing dan penanaman
modal dalam negeri guna mendorong investasi dalam negeri. Hasil dari
kebijaksanaan ini di antaranya adalah:
ü Naiknya
cadangan devisa dari $ 1,8 milyar menjadi $ 2,58 milyar
ü Naiknya
tabungan pemerintah dari Rp 225 milyar menjadi Rp 1.522 milyar
·
Kebijaksanaan 15 Nopember 1978 (KNOP
15), yakni kebijaksanaan di bidang moneter dengan tujuan untuk menaikkan hasil
produksi nasional, serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor, yang pada
masa ini menjadi lemah karena:
ü Adanya
inflasi yang besarnya rata-rata 34%, sehingga komoditi ekspor Indonesia menjadi
mahal di pasar dunia, akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk sejenis dari
negara lain.
ü Adanya
resesi dan krisis dunia pada tahun 1979
Di
samping itu KNOP 15 juga didukung oleh kebijaksanaan devaluasi Rupiah dari Rp
415/$ menjadi Rp 625/$. Kebijaksanaan lain yang mendukung pada periode ini
adalah dengan diturunkannya Bea Masuk untuk komoditi impor yang merupakan
komoditi bahan penolong, serta dengan menaikkan Bea Masuk untuk komoditi impor
lainnya.
D. PERIODE
PELITA III
Periode
ini diwarnai dengan devisitnya neraca perdagangan Indonesia, yang disebabkan
karena diterapkannya tindakan proteksi dan kuota oleh negara-negara pasaran
komoditi ekspor Indonesia. Adapun kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang
sempat dikeluarkan dalam periode ini adalah:
·
Paket Januari 1982, yang berisi
mengenai tata cara pelaksanaan ekspor-impor, dan lalu lintas devisa. Di dalam
kebijaksanaan ini diterapkan kemudahan dalam hal pajak yang dikenakan terhadap
komoditi ekspor, serta kemudahan dalam hal kredit untuk komoditi ekspor.
Kebijaksanaan ini kurang membawa hasil, dikarenakan terjadinya resesi dunia
yang juga belum berakhir.
·
Paket kebijaksanaan imbal beli (counter
purchase), yang dikeluarkan untuk menunjang kebijaksanaan paket Januari di
atas. Dalam kebijaksanaan ini tersirat keharusan eksportir maupun importir luar
negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama. Ternyata
kebijaksanaan ini pun masih kurang berhasil, karena resesi dunia tersebut.
Dengan adanya resesi tersebut menyebabkan naiknya tingkat inflasi, sehingga
tabungan masyarakat menurun, dana untuk investasi menjadi berkurang. Akibat
lebih jauhnya adalah turunnya produktivitas dan dengan demikian pertumbuhan
ekonomi menjdi berkurang.
·
Kebijaksanaan Devaluasi 1983, yakni
dengan menurunnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar dari Rp 625/$
menjadi Rp 970/$, dengan harapan:
ü Gairah
ekspor dapat meningkat, sehingga penerimaan negara menjadi lebih banyak
ü Komoditi
ekspor menjadi lebih mahal, karena diperlukan lebih banyak rupiah untuk
mendapatkannya. Dengan demikian diharapkan industri dalam negeri dapat
berkembang untuk meningkatkan produktivitas. Akibatnya penerimaan pemerintah
dari sektor pajak pun dapat ditingkatkan.
E.PERIODE
PELITA IV
Beberapa
kebijaksanaan pemerintah yang lahir dalam periode ini adalah:
·
Kebijaksanaan INPRES No. 4 Tahun 1985,
kebijaksanaan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan ekspor
non-migas. Sedangkan di pihak lain masih banyak ditemui hambatan, seperti
sarana pelabuhan yang masih “semrawut” dan munculnya ekonomi biaya tinggi.
Tindakan yang diambil untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi adalah:
ü Memberantas
pungutan liar
ü Mempermudah
prosedur ke-Pabeanan
ü Menghapus
dan memberantas biaya-biaya siluman
·
Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 (PAKEM),
yang dikeluarkan dengan tujuan untuk mendorong sektor swasta di bidang ekspor
maupun di bidang penanaman modal.
·
Paket Devaluasi 1986, tindakan ini
ditempuh karena jatuhnya harga minyak di pasaran dunia yang megakibatkan
penerimaan pemerintah turun. Kebijaksanaan kali ini didukung dengan
dilaksanakannya pinjaman luar negeri.
·
Paket kebijaksanaan 25 oktober 1986,
yang merupakan deregulasi di bidang perdagangan, moneter, dan penanaman
modal, dengan cara melakukan:
ü Penurunan
Bea Masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku
ü Proteksi
produksi yang lebih efeisien
ü Kebijaksanaan
penanaman modal
·
Paket Kebijaksanaan 15 Januari 1987,
dengan melakukan peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas beberapa
sektor industri (menengah ke atas) dalam rangka meningkatkan ekspor non migas.
Langkah yang ditempuh di antaranya adalah:
ü Penyempurnaan
dan penyederhanaan ketentuan impor
ü Pembebasan
dan keringanan dalam Bea masuk
ü Penyempurnaan
klasifikasi barangnya
·
Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987
(PAKDES), dengan melakukan restrukturisasi bidang ekonomi, terutama dalam usaha
memperlancar perizinan (deregulas).
·
Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988,
yakni kebijaksanaan deregulasi untuk menggairahkan pasar modal dan untuk
menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
·
Paket Kebijaksanaan 21 November 1988
(PAKNOV), dengan melakukan deregulasi dan debirokratisasi di
bidang perdagangan dan hubungan laut.
·
Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988
(PAKDES), yakni kebijaksanaan di bidang keuangan dengan memberikan keleluasaan
bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih
produktif. Selain iu, kebijaksanaan juga berisi mengenai deregulasi dalam
hal pendirian perusahaan asuransi.
F.
PERIODE
PELITA V
Kebijaksanaan
pemerintah selama Pelita V lebih diarahkan kepada pengawasan, pengendalian, dan
upaya kondusif guna mempersiapkan proses tinggal landas menuju rencana
Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua.
2.
KEBIJAKSANAAN MONETER
Adalah
sekumpulan tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui peredaran
uang dan tingkat suku bunga. Kebijaksanaan ini ditempuh untuk mengantisipasi
pengaruh-pengaruh baik yang positif atau sebaliknya, dari peredaran uang dan
tingkat suku bunga yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat dimengerti karena
peran uang yang begitu vital dalam kehidupan perekonomian suatu negara, begitu
pula pentingnya tingkat suku bunga yang dapat mempengaruhi pola kegiatan
investasi di Indonesia.
Di
dalam sistem perekonomian Indonesia, kebijaksanaan moneter ini dijalankan oleh
pemerintah melalui lembaga keuangan yang disebut dengan Bank Indonesia. Bank
Indonesia seperti halnya di negara-negara lainnya, adalah satu-satunya bank
sentral di Indonesia yang secara lebih rinci memiliki tugas:
·
Sebagai bank-nya pemerintah, yaitu
membantu pemerintah dalam mengelola (menyimpan dan meminjami) dana pemerintah
yang akan dipergunakan untuk pembangunan
·
Sebagai bank-nya bank umum, yaitu
membantu para bank umum dalam kegiatan operasional dana yang dimiliki atau
dibutuhkannya
·
Sebagai lembaga pengawasan kegiatan
lembaga keuangan, yaitu mengawasi produk-produk yang dikeluarkan oleh
masing-masing lembaga keuangan yang dapat mempengaruhi peredaran uang dan iklim
investasi
·
Bersama lembaga pemerintah terkait
lainnya bertugas sebagai lembaga pengawas kegiatan ekonomi di sektor luar
negeri
·
Memperlancar kegiatan perekonomian
dengan cara mencetak uang kartal (kertas dan logam)
Dilihat
dari upaya yang ditempuh, kebijaksanaan moneter ini dapat dikelompokkan menjadi
2 jenis kebijaksanaan moneter, yakni:
A.
Kebijaksanaan
Moneter Kuantitatif
Sesuai
dengan namanya jenis kebijaksanaan moneter ini dijalankan dengan mengatur uang
beredar dan tingkat suku bunga dari segi kuantitasnya. Kebijaksanaan jenis ini
umumnya dijalankan dengan tiga cara, yaitu:
Pertama,
dengan melakukan operasi pasar terbuka, yakni dengan memperjual-belikan
surat-surat berharga (SBI) yang dimiliki oleh Bank Indonesia, dengan harapan
uang yang yang beredar akan menjadi lebih banyak atau menjadi lebih sedikit
sesuai yang diperlukan dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Proses operasi
pasar terbuka ini dapat dilihat dalam ilustrasi berikut:
Ilustrasi
1
Dengan
asumsi bahwa uang yang beredar di Indonesia suatu saat dianggap terlalu banyak
sehingga dikhawatirkan akan memacu timbulnya spekulasi dan inflasi, maka Bank
Indonesia memutuskan akan menarik sebagian uang yang beredar dengan jalan
menjual surat-surat berharga yang masih dimilikinya. Untuk itu Bank Indonesia
akan menjual surat berharga senilai Rp 0,5 trilyun. Adapun data mengenai uang
yang beredar dapat dilihat dalam neraca konsolidasi semua bank umum sebagai
berikut:
NERACA KONSOLIDASI (disederhanakan)
BANK UMUM INDONESIA 1996
(dalam trilyun)
Cadangan
min.
20
Investasi
70
Kredit
30
|
Tabungan
giral
100
Modal
20
|
120
|
120
|
Dari
neraca konsolidasi tersebut terlihat uang yang beredar yang diasumsikan terlalu
banyak (tabungan giral Rp 100 trilyun). Dan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia sebagian dari nilai tersebut harus dicadangkan, misalkan 20% nya
(cadangan min. Rp 20 trilyun), dan sisanya dapat diinvestasikan atau disalurkan
dalam bentuk kredit ke masyarakat.
Dengan
kebijaksanaan Bank Indonesia yang menjual SBI senilai Rp 0,5 trilyun tersebut,
uang beredar senilai Rp 100 trilyun tersebut tanpa dikurangi dengan proses
sebagai berikut:
SBI
tersebut akan dibeli oleh bank umum dengan menggunakan cadangan minimalnya,
sehingga setelah itu cadangan minimalnya hanya tinggal Rp 19,5 trilyun. Nilai
ini harus tetap merupakan 20% dari nilai tabungan giral yang berhasil dicipta
sebagai uang yang beredar. Dengan ketentuan tersebut maka tabungan giral yang
kemudian diijinkan hanya sebesar Rp 97,5 trilyun (97,5 × 20% = 19,5). Dan
neraca konsolidasinya menjadi:
NERACA KONSOLIDASI
(disederhanakan, setelah adanya kebijaksanaan op. ps.
terbuka)
BANK UMUM INDONESIA
Per 31 Desember 1996
(dalam trilyun)
Cadangan
min.
119,5
Investasi
68
Kredit
30
|
Tabungan
giral
97,5
Modal
20
|
112,5
|
117,5
|
Dari
peristiwa operasi pasar terbuka yang dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut
dapat disimpulkan bahwa, dengan hanya menjual surat berharga senilai (5×
lipatnya). Dengan demikian jika dianggap bahwa uang yang boleh beredar
(tabungan giral) adalah hanya sebesar Rp 80 trilyun, maka Bank Indonesia harus
menjual surat berharga senilai Rp 4 trilyun ({(100-80)/2,5} × 0,5).
Di
pihak lain, agar kebijaksanaan operasi pasar terbuka yang dijalankan Bank
Indonesia tersebut berjalan sesuai harapan, maka perlu dipenuhi syarat-syarat
di bawah ini:
·
Surat berharga yang akan
diperjual-belikan jumlahnya cukup. Sebagai contoh di atas, jika uang yang beredar
akan dikurangi senilai Rp 20 trilyun, maka jumlah surat berharga yang harus
tersedia untuk ditawarkan kepada masyarakat min. harus masih ada senilai Rp 4
trilyun. Namun jika surat berharga yang dimiliki oleh Bank Indonesia hanya
senilai Rp 2 trilyun, maka jumlah uang yang berhasil dikurangi hanya sebesar Rp
10 trilyun saja. Dengan kata lain tujuan Bank Indonesia dalam mengurangi uang
yang beredar sebesar Rp 20 trilyun tersebut gagal.
·
Bank Umum tidak memiliki kelebihan
dalam cadangan minimalnya. Jika dalam contoh di atas bank umum memiliki
kelebihan cadangan min. sebesar Rp 2 trilyun (cadangan min. menjadi Rp 22
trilyun), maka kebijaksanaan operasi pasar terbuka Bank Indonesia juga akan
gagal, karena secara matematika bank umum tetap dapat mempertahankan besar
cadangan min. yang diperlukan jika tabungan giral yang tercipta Rp 100 trilyun
(100 × 20% = 20 kelebihan cadangannya tinggal Rp 1,5 trilyun).
Kedua,
dengan merubah tingkat suku bunga diskonto.
Cara
kedua dalam kebijaksanaan moneter kuantitatif ini dilakukan sebagai alternatif
atau pendukung dari cara operasi pasar terbuka.
Tingkat
bunga diskonto adalah tingkat bunga yang berlaku dalam transaksi moneter antara
Bank Indonesia dengan bank umum. Proses dari cara ini adalah, jika dengan
asumsi yang sama, bahwa agar uang yang beredar di Indonesia tidak terlalu
banyak, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menaikkan tingkat suku
bunga diskonto. Dengan suku bunga diskonto yang tinggi maka bank umum tidak
akan meminjam uang dari Bank Indonesia dengan jumlah yang banyak. Sehingga uang
yang berada di bank umum juga menjadi sedikit, dan akibat selanjutnya uang yang
tersalurkan ke masyarakat juga sedikit. Dengan demikian uang yang beredar tidak
menjadi lebih banyak lagi. Akibat ini juga akan tercapai jika dengan suku bunga
diskonto yang tinggi tersebut, bank umum lebih senang menyimpan uangnya di Bank
Indonesia daripada mengeluarkannya untuk masyarakat.
Ketiga,
dengan cara merubah presentase cadangan min. yang harus dipenuhi oleh setiap
bank umum. Dengan menggunakan contoh liustrasi 1 di atas. Telah dijelaskan jika
bank umum memiliki kelebihan cadangan min. maka operasi pasar terbuka akan
gagal. Jika ini yang terjadi maka Bank Indonesia masih dapat mengatasinya denga
cara menaikkan presentase wajib cadangan minimalnya menjadi 22%, sehingga
secara matematis nilai uang yang beredar (tabungan giral) tetap dapat
dikurangi, meskipun tidak sebesar sebelum para bank umum tadi memiliki
kelebihan cadangan min. sebesar Rp 2 trilyun.
Dengan
cara ketiga ini, uang yang beredar dapat dikurangi sebesar Rp 2,3 trilyun (97,7
× 22% = 21,5). Namun demikian cara ini pun akan gagal jika bank umum
kembali menetapkan/ memiliki kelebihan cadangan min. lagi.
B. Kebijaksanaan
Moneter Kualitatif
Untuk
lebih mensukseskan cara-cara kuantitaif di atas maka Bank Indonesia dapat
melakukan kebijaksanaan moneter yang bersifat kualitatif ini.
Yang
dimaksud dengan kebijaksanaan moneter kualitatif ini adalah dengan mengatur dan
menghimbau pihak bank umum/ lembaga keuangan lainnya, guna mendukung
kebijaksanaan moneter kuantitaif yang sedang dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Sebagai
contoh dalam ilustrasi 1, Bank Indonesia akan menghimbau kepada manajemen bank
umum untuk tidak memiliki kelebihan cadangan minimal yang telah ditetapkan. Di
samping itu kebijaksanaan ini juga bertujuan untuk lebih mengawasi kegiatan
perbankan dan lembaga keuangan lainnya agar tidak sampai merugikan masyarakat,
bank umum itu sendiri sampai dengan perekonomian secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar